Kamis, 25 Juli 2013

REFERENSI #1



Dalam rangka berupaya menekuni musik kembali. Saya mencoba memunguti ingatan lama saya dalam mengapresiasi seni, terutama seni musik. Setelah bertahun-tahun apatis kepada apa yang menjadi esensi dari golakan gairah terpendam yang sebelumnya didominasi rutinitas hiruk-pikuk seni arus utama. Oke, langsung saja saudara-saudari sebangsa dan setanah tandus.
Kesenian harus bisa member jarak antara manusia dengan kenyataan, tukas Wagner. Dalam suatu pernyataan tertulis untuk sahabatnya. Mungkin maksud Wagner adalah suatu kesenian harus bisa membebaskan manusia dari hiruk-pikuk kemanusiaan yang membosankan. Sepakat! Saya pernah tenggelam ke dalam lokalisasi hardcore-punk awal  2000’an dimana Indonesia sedang mengalami transisi politik dari otoritarian ke “demokrasi”. Memang ada beberapa band dari luar yang sering saya [kami] dengar dan mainkan dalam gigs lokal, parade, atau festival [istilah gigs unjuk kreativitas pada masa itu].
Tapi hanya beberapa saja.
Waktu itu saya masih duduk dibangku SMP. Orang-orang menyebut masa itu masa ABG [sekarang Ababil, Alay, de el-el, what the suxxxx!!!]. Betapa tak pentingnya label-stempel seperti itu. Saya harus katakana tak banyak band yang membawakan lagu-lagu berbau politik, kemanusiaan, tragedi, diusia seperti kami pada saat itu, ditambah dalam kota kecil sedamai itu, Kuningan. Saya merasa beruntung diperkenalkan musik-musik seperti ini, jika tak ‘diracuni’. Harus saya akui musik-musik yang ‘Hidup’  macam itu membawa impact  yang kuat dalam perkembangan saya hingga saat ini. Well, inilah toxin-toxin audio yang sering kami dengar dan mainkan dahulu, kala berkenalan dengan seni sebagai media ‘pembebasan’, tentu saja sekarangpun masih saya dengar dan rasakan dengan telinga dan hati terbuka.
1.       Urban Ghettos (Balcony)
Dicomot dari album Instant Justice. Lagu ini menyuarakan tentang kehidupan Urban yang didominasi gaya hidup modernian bersenjatakan kekuasaan modal, teralienasi modernisasi. Ketimpangan social dibeberapa titik ruang hidup. Ketidakadilan sudah mencapai puncaknya. Seperti biasa, riff-riff tiga jurus yang meng-old-school di lagu-lagu hardcore-punk sangat kentara. Mengingatkan saya pada grup band maha keren asal Swedish, Refused di album This Just Might Be The Truth. Lagu ini pernah kami mainkan saat perpisahan SMP, dimana kawan saya berteriak dengan merdu “From Urban Ghetoooooooooooooos………!!!!”
2.       United Fist (Puppen feat Homicide)
Dari album hijau.Terasa sangat Biohazard. Anjizzz! Tidak mudah mengahapal lirik lagu ini. Kami sangat payah menghapal lirik ber-rap-beat, dengan tempo cepat, macam United Fist ini. Punteun ah Mang Aryan, MangUcok, Mang Gaya, kami pernah membawakanlagu kalian dengan lirik sekenanya. Tapi percayalah semangat membawakan lagu ini melebihi semangat rekaman lagu kalian. Hahaha…….
3.       Ilustrasi Matahari (Balcony)
Album Komposisi, Metafora, Imajinar. Sublim. Nyaris memberi nuansa religius. Lagu ini tanpa lirik, hanya instrumen-instrumen musik didalamnya. Mungkin semacam God Speed dalam bentuk lain. Ini album ketiga [terakhir] Balcony. Jelas ini adalah eksplorasi-reformasi Balcony dalam berkesenian. Mereka merombak habis konsep musik mereka, ditambah dengan tema-tema lirik yang lebih menggigit. Mengingat album-album sebelumnya bernuansa old-school, all-out. Banyakunsur-unsur yang dimasukan kedalam Album ini, darimulai hard-rock, new-school, deep-core, metode sampling, atau apapun istilahnya, teserah. Merepresentasikan tema album mereka. Memberi ruang untuk berimaji pada para pendengarnya. Mendengarkan lagu ini ketika matahari merubah bentuk ya menjadi setengah lingkaran bergradasi merah mengawini oranye, bukanlah sesuatu hal yang buruk. Dari pada harus mendengarkan D’Bagindas.
4.       Monodramatik (Balcony)
Masih dari Komposisi, Metafora, Imajinar. Nihilisme begitu dominan dalam lirik lagu ini. Kami pun pernah membawakannya di suatu gigs, alasan kami sederhana, kami menyukai lagu ini meski waktu itu kami belum mengerti esensi makna lagu ini. Saya amini apa yang dikatakan Peter Levine dalam bukunya Nietzsche, Potret Besar Sang Filsuf, bahwa Nietzsche dan Heiddeger adalah penulis lirik terbesar sepanjang sejarah. Iklim semangat Nietzshean begitu terasa. Roh Nietzsche seolah hadir dalam lirik lagu ini. Dengan pembukaanlirik yang bernada ‘disorientatif’ yang menjadi agama Nietzsche itu, “ketika hampa adalah tujuan ku ketika nihi lsatu-satunya harapan adalah ketika kukhianati tuhan adalah ketika ku cumbu semua kata.”Lantas ini pun diafirmasi sebelum track ini diakhiri dengan seruan impresif berkali-kali, “kuyakini semua ketidakyakinanku.”Perfect metaphor, I supposed.
5.       Freedom (Rage Againts The Machine)
Wuhuhuuuu….Oret eperibodih! Kawan-kawan yang bajingan... Waktu yang tepat buat kita menaik-turun kan tubuh dan kepala, pikiran dan jiwa. Meresapi khotbah tulus Zack De La Rocha. Karena ke-freedom-an kami mendapat pula piala juara harapantiga yang pada saatitu kami mengikuti Pentas seni yang diselenggarakan sebuah SLTA. Freedooooooooooooom!!!! Yeaaaaaaaaaaah! Hahahahaha……... Sungguh kami benar-benar serius dengan Freedom ini. Saya sangat beruntung mengenal band ultra-cerdas ini.
6.       Know Your Enemy (Rage Againts The Machine)
Secara historis saya punya memori tersendiri dengan RATM ini. Saya sering membawakan lagu RATM dengan berbagai band. Tak cuma dengan band utama saya pada waktu itu. Seorang kawan yang lain mengajak saya memainkan lagu ini, tentu saja saya tak bisa menolaknya. Lagu ini cukup merepresentasikan memori saya pada saat gemuruh gigs yang lumayan serius di Kota kecil macam Kuningan sana. Kawan saya cukup berhasil mereduksi bentangan suara gitar Tom Morelo diawal laguini. Anjing teh aing kangen masa-mas ange-band euy!
Lawan (Jeruji)
“Kami cinta negeri ini tapi kami benci sistem yang ada hanya ada satu kata lawaaaaaaaaaaaaan!.”Kalau tidak salah ini adalah orasi Penyair Widji Thukul pada masa ke-chaos-an senjakala orde baru. Namun saya mengetahui kata-kata puitis-liris ini dari bung Themfuck, si vokalis Jeruji. Band punk rock yang kami idolai. Di masa yang otoritatif era Soeharto di bawah tahun 1998 mereka tetap garang membawakan lagu ini di atas panggung. Nyali yang tak banyak dimiliki banyak personil band saat itu. Kami sering membawakan lagu-lagu Jeruji ditiap gigs yang terselenggara. Dan lagu ini pun tetap, jika tak, semakin relevan dengan kondisi setiap negeri. Untuk setiap ketidakadilan hanya ada satu kata lawaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan!!!.

Kontributor :
Gilang Occe


Tidak ada komentar:

Posting Komentar