
Dalam rangka berupaya menekuni musik kembali. Saya mencoba memunguti ingatan lama saya dalam mengapresiasi seni, terutama seni musik. Setelah bertahun-tahun apatis kepada apa yang menjadi esensi dari golakan gairah terpendam yang sebelumnya didominasi rutinitas hiruk-pikuk seni arus utama. Oke, langsung saja saudara-saudari sebangsa dan setanah tandus.
Kesenian harus bisa member jarak antara manusia dengan kenyataan,
tukas Wagner. Dalam suatu pernyataan tertulis untuk sahabatnya. Mungkin maksud
Wagner adalah suatu kesenian harus bisa membebaskan manusia dari hiruk-pikuk kemanusiaan
yang membosankan. Sepakat! Saya pernah tenggelam ke dalam lokalisasi
hardcore-punk awal 2000’an dimana
Indonesia sedang mengalami transisi politik dari otoritarian ke “demokrasi”.
Memang ada beberapa band dari luar yang sering saya [kami] dengar dan mainkan dalam
gigs lokal, parade, atau festival [istilah gigs unjuk kreativitas pada masa itu].
Tapi hanya beberapa saja.
Waktu itu saya masih duduk dibangku SMP. Orang-orang menyebut
masa itu masa ABG [sekarang Ababil, Alay, de el-el, what the suxxxx!!!]. Betapa tak pentingnya label-stempel seperti itu.
Saya harus katakana tak banyak band yang membawakan lagu-lagu berbau politik,
kemanusiaan, tragedi, diusia seperti kami pada saat itu, ditambah dalam kota kecil
sedamai itu, Kuningan. Saya merasa beruntung diperkenalkan musik-musik seperti ini,
jika tak ‘diracuni’. Harus saya akui musik-musik yang ‘Hidup’ macam itu membawa impact yang kuat dalam perkembangan
saya hingga saat ini. Well, inilah toxin-toxin audio yang sering kami dengar dan
mainkan dahulu, kala berkenalan dengan seni sebagai media ‘pembebasan’, tentu saja
sekarangpun masih saya dengar dan rasakan dengan telinga dan hati terbuka.
1. Urban Ghettos (Balcony)
Dicomot dari album Instant Justice. Lagu ini menyuarakan tentang
kehidupan Urban yang didominasi gaya hidup modernian bersenjatakan kekuasaan
modal, teralienasi modernisasi. Ketimpangan social dibeberapa titik ruang hidup.
Ketidakadilan sudah mencapai puncaknya. Seperti biasa, riff-riff tiga jurus
yang meng-old-school di lagu-lagu hardcore-punk sangat kentara. Mengingatkan saya
pada grup band maha keren asal Swedish, Refused
di album This Just Might Be The Truth. Lagu ini pernah kami mainkan saat perpisahan
SMP, dimana kawan saya berteriak dengan merdu “From Urban Ghetoooooooooooooos………!!!!”
2. United Fist (Puppen feat Homicide)
Dari album hijau.Terasa sangat Biohazard. Anjizzz! Tidak mudah
mengahapal lirik lagu ini. Kami sangat payah menghapal lirik ber-rap-beat,
dengan tempo cepat, macam United Fist ini. Punteun
ah Mang Aryan, MangUcok, Mang Gaya, kami pernah membawakanlagu kalian
dengan lirik sekenanya. Tapi percayalah semangat membawakan lagu ini melebihi semangat
rekaman lagu kalian. Hahaha…….
3. Ilustrasi Matahari (Balcony)
Album Komposisi, Metafora, Imajinar. Sublim. Nyaris memberi nuansa
religius. Lagu ini tanpa lirik, hanya instrumen-instrumen musik didalamnya. Mungkin
semacam God Speed dalam bentuk lain. Ini album ketiga [terakhir] Balcony. Jelas
ini adalah eksplorasi-reformasi Balcony dalam berkesenian. Mereka merombak habis
konsep musik mereka, ditambah dengan tema-tema lirik yang lebih menggigit. Mengingat
album-album sebelumnya bernuansa old-school, all-out. Banyakunsur-unsur yang
dimasukan kedalam Album ini, darimulai hard-rock, new-school, deep-core, metode
sampling, atau apapun istilahnya, teserah. Merepresentasikan tema album mereka.
Memberi ruang untuk berimaji pada para pendengarnya. Mendengarkan lagu ini ketika
matahari merubah bentuk ya menjadi setengah lingkaran bergradasi merah mengawini
oranye, bukanlah sesuatu hal yang buruk. Dari pada harus mendengarkan D’Bagindas.
4. Monodramatik (Balcony)
Masih dari Komposisi, Metafora, Imajinar. Nihilisme begitu dominan
dalam lirik lagu ini. Kami pun pernah membawakannya di suatu gigs, alasan kami
sederhana, kami menyukai lagu ini meski waktu itu kami belum mengerti esensi makna
lagu ini. Saya amini apa yang dikatakan Peter Levine dalam bukunya Nietzsche,
Potret Besar Sang Filsuf, bahwa Nietzsche dan Heiddeger adalah penulis lirik terbesar
sepanjang sejarah. Iklim semangat Nietzshean begitu terasa. Roh Nietzsche
seolah hadir dalam lirik lagu ini. Dengan pembukaanlirik yang bernada
‘disorientatif’ yang menjadi agama Nietzsche itu, “ketika hampa adalah tujuan ku ketika nihi lsatu-satunya harapan adalah
ketika kukhianati tuhan adalah ketika ku cumbu semua kata.”Lantas ini pun
diafirmasi sebelum track ini diakhiri dengan seruan impresif berkali-kali, “kuyakini semua ketidakyakinanku.”Perfect
metaphor, I supposed.
5. Freedom (Rage Againts The Machine)
Wuhuhuuuu….Oret eperibodih! Kawan-kawan yang bajingan... Waktu
yang tepat buat kita menaik-turun kan tubuh dan kepala, pikiran dan jiwa. Meresapi
khotbah tulus Zack De La Rocha. Karena ke-freedom-an kami mendapat pula piala juara
harapantiga yang pada saatitu kami mengikuti Pentas seni yang diselenggarakan sebuah
SLTA. Freedooooooooooooom!!!! Yeaaaaaaaaaaah! Hahahahaha……... Sungguh kami
benar-benar serius dengan Freedom ini. Saya sangat beruntung mengenal band
ultra-cerdas ini.
6. Know Your Enemy (Rage Againts The Machine)
Secara historis saya punya memori tersendiri dengan RATM
ini. Saya sering membawakan lagu RATM dengan berbagai band. Tak cuma dengan
band utama saya pada waktu itu. Seorang kawan yang lain mengajak saya memainkan
lagu ini, tentu saja saya tak bisa menolaknya. Lagu ini cukup merepresentasikan
memori saya pada saat gemuruh gigs yang lumayan serius di Kota kecil macam Kuningan
sana. Kawan saya cukup berhasil mereduksi bentangan suara gitar Tom Morelo diawal
laguini. Anjing teh aing kangen masa-mas ange-band
euy!
Lawan (Jeruji)
“Kami cinta negeri ini
tapi kami benci sistem yang ada hanya ada satu kata lawaaaaaaaaaaaaan!.”Kalau
tidak salah ini adalah orasi Penyair Widji Thukul pada masa ke-chaos-an
senjakala orde baru. Namun saya mengetahui kata-kata puitis-liris ini dari bung
Themfuck, si vokalis Jeruji. Band punk rock yang kami idolai. Di masa yang
otoritatif era Soeharto di bawah tahun 1998 mereka tetap garang membawakan lagu
ini di atas panggung. Nyali yang tak banyak dimiliki banyak personil band saat itu.
Kami sering membawakan lagu-lagu Jeruji ditiap gigs yang terselenggara. Dan lagu
ini pun tetap, jika tak, semakin relevan dengan kondisi setiap negeri. Untuk setiap
ketidakadilan hanya ada satu kata lawaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan!!!.
Kontributor :
Gilang Occe
Email: ruangwaktu666@gmail.com

Tidak ada komentar:
Posting Komentar